Materi kelas 12
Pengertian Ijtihad
Ketika berbicara tentang ijtihad, yang ada di fikiran kita adalah bermakna bersungguh-sungguh. Karena secara bahasa ijtihad (إجتهادّ) berarti الطاقة artinya upaya sungguh-sungguh. Bentuk kata إجتهادّ memiliki akar kata جهد yang di masukkakn ke dalam wazan إفتعال yang membentuk kalimatsehingga memiliki arti keadaan lebih (mubalaghah) atau maksimal dalam suatu tindakan atau perbuatan. Jadi, secara bahasa ijtihad adalah berusaha atau berupaya dengan bersungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak digunakan dalam sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan kebenaran. Misalnya ada suatu ungkapan: إجتهد فى حمل الرّحا (Dia berusaha keras membawa batu giling) dan tidak pula digunakan pada kata: إجتهد فى حمل خردلةٍ (berusaha sungguh-sungguh membawa satu biji). Atau bisa juga di sebut dengan sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Sedangkan arti ijtihad menurut bahasa yang terkutip dalam beberapa kitab adalah:
بذل غاية الجهد فى الوصول الى امر من الامور فعل من الافعال
Artinya : Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan
Sedangkan menurut istilah adalah:
بذل الجهد للتّوصّل الى الحكم الشرعيى العمليى من دليله التفصيليى
Pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dari dalil-dalil yang tafsili.
Menurut Al Ghazali ijtihad secara bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Kata ini tidaklah digunakan kecuali dalam hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu tidak disebut berijtihad jika hanya mengangkat hal yang ringan, seperti mengangkat sebiji sawi.
Ijtihad menurut istilah, dapat dikutipkan beberapa pendapat, antara lain:
Menurut Al Ghazali, pengarahan kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hukum syara’.
Menurut al Amidi: pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.
Menurut Asy Syatibi: Ijtihad adalah pengerahan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggali hukum syara’.
Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat lain mengenai ijtihad secara istilah.
Kemudian daripada itu kata ijtihad akhirnya digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian ilmu ushul fiqih yang bermakna “usaha maksimal ulama”, ushul fiqih dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dzanni, Zakaria al Anshari mengatakan bahwa kekuatan hasil ijtihad tersebut adalah dzanni, yakni punya peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada “benar” nya bukan pada salahnya, sejalan dengan itu, al Ghazali menekankan bahwa hasil ijtihad itu harus diyakini kebenarannya, baik oleh mujtahidnya sendiri maupun orang-orang yang mengikuti pendapatnya itu.
Dasar hukum ber-ijtihad
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum? Ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al Qur’an, kemudian dengan sunnah Allah dan kemudian dengan melakukan ijtihad, Allah mengakui hal itu dengan mengatakan:
“Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan rasulnya. Yang pada saat itu ia sedang di utus oleh Rasululloh ke yaman. Secara lengkapnya adalah sebagai berikut :
Sedangkan arti ijtihad menurut bahasa yang terkutip dalam beberapa kitab adalah:
بذل غاية الجهد فى الوصول الى امر من الامور فعل من الافعال
Artinya : Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan
Sedangkan menurut istilah adalah:
بذل الجهد للتّوصّل الى الحكم الشرعيى العمليى من دليله التفصيليى
Pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dari dalil-dalil yang tafsili.
Menurut Al Ghazali ijtihad secara bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Kata ini tidaklah digunakan kecuali dalam hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu tidak disebut berijtihad jika hanya mengangkat hal yang ringan, seperti mengangkat sebiji sawi.
Ijtihad menurut istilah, dapat dikutipkan beberapa pendapat, antara lain:
Menurut Al Ghazali, pengarahan kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hukum syara’.
Menurut al Amidi: pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.
Menurut Asy Syatibi: Ijtihad adalah pengerahan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggali hukum syara’.
Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat lain mengenai ijtihad secara istilah.
Kemudian daripada itu kata ijtihad akhirnya digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian ilmu ushul fiqih yang bermakna “usaha maksimal ulama”, ushul fiqih dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dzanni, Zakaria al Anshari mengatakan bahwa kekuatan hasil ijtihad tersebut adalah dzanni, yakni punya peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada “benar” nya bukan pada salahnya, sejalan dengan itu, al Ghazali menekankan bahwa hasil ijtihad itu harus diyakini kebenarannya, baik oleh mujtahidnya sendiri maupun orang-orang yang mengikuti pendapatnya itu.
Dasar hukum ber-ijtihad
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum? Ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al Qur’an, kemudian dengan sunnah Allah dan kemudian dengan melakukan ijtihad, Allah mengakui hal itu dengan mengatakan:
“Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan rasulnya. Yang pada saat itu ia sedang di utus oleh Rasululloh ke yaman. Secara lengkapnya adalah sebagai berikut :
عن الحارث بن عمر و عن رحالٍ من أصحاب معاذٍ انّ رسول الله صلى الله عليه و سلم بعث معاذًا إلى اليمن فقال كيف تقضى فقال أقضى بما فى كتاب الله قال فإن لم يكن فى كتاب الله قال فبسنّة رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال فإن لم يكن فى سنة رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قال اجتهد رأيي قال الحمد لله الّذى وفقّ رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم
(رواه الترمذى)
Yang artinya:
Dari al Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke negeri Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa anda memutuskan suatu persoalan, dia jawab, saya akan memutuskan dengan dasar yang ada dalam kitab Allah, Nabi bertanya: “Kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar sunah Rasulullah SAW, beliau bertanya lagi: Kalau tidak anda temukan dalam sunnah Rasulullah?”, Muaz menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi Taufik atas diri utusan rasulullah SAW” (HR Tirmizi).
Dari al Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke negeri Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa anda memutuskan suatu persoalan, dia jawab, saya akan memutuskan dengan dasar yang ada dalam kitab Allah, Nabi bertanya: “Kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar sunah Rasulullah SAW, beliau bertanya lagi: Kalau tidak anda temukan dalam sunnah Rasulullah?”, Muaz menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi Taufik atas diri utusan rasulullah SAW” (HR Tirmizi).
0 komentar:
Posting Komentar